Bataksiana - Suku Batak Pakantan atau yang lazim disebut sebagai Alak Pakantan menempati Kecamatan Pakantan, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Pakantan adalah sebuah Kecamatan yang terletak di hulu sungai Gadis (Batang Gadis), dilereng Gunung Kulabu diwilayah Kabupaten Mandailing Natal paling selatan, berjarak 12 km dari Muara Sipongi/jalan Raya Lintas Sumatera mengarah ke barat.
Rumah adat Pakantan. |
Mengenai asal-muasal nama Pakantan sendiri, berbagai penafsiran muncul, namun tiada yang pasti, antara lain berasal dari kata antara lain:
1. Pahantan: nama sungai yang membelah desa tersebut.
2. Pamupakatan: karena Pakantan merupakan tempat dimana pada tempo dulu orang-orang dari Mandailing dan Sumatera Barat datang untuk mencari ketenangan dan meminta petunjuk atas masalah yang di hadapi karena tempo dulu sebelum adanya agama di Pakantan/ hulu Sungai Batang Gadis/Gunung Kulabu dianggap tempat yang sangat sakral dan tempat pemujaan.
3. Patantan: suatu bentuk upacara pemakaman Raja Mangalaon Tua (Namangarotop Banua) dimana cara membawa dia dari rumah duka ke tempat penguburan (di Talobu) tidak diusung diatas bahu, melainkan ditantan (dibawa bersama-sama dari tangan ke tangan) secara berantai hingga semua masyarakat Pakantan berkesempatan untuk mengantar ke liang kubur.
4. Parmupakatan: musyawarah tentang pemilihan/pengangkatan "Raja Huta" berikutnya.
Perlu diketahui bahwa pada masa Harajaon Mangalaon Tua, nama Pakantan belum ada, baru ada Huta Lobu yang diketahui sebagai pemukiman atau Harajaon. Menurut Tarombo (silsilah) marga Lubis di Pakantan, yang pertama kali diakui sebagai nenek moyang bernama Datu Sang Maima Na Bolon. Selanjutnya beberapa generasi kemudian, keturunan Datu tersebut bernama Namora Pande Bosi II. Diakui sebagai awal yang menurunkan Lubis Si Langkitang dan Si Baitang. Dan kemudian, beberapa generasi kemudian lahirlah Sutan Mogol, keturunan langsung dari Mangaradja Ulu Balang.
Sekitar tahun 1540-an, Raja Mangalaon Tua (Raja Pakantan I), membuka perkampungan di Pakantan. Saat itu yang menjadi kepala kampung di Huta Padang adalah anak Raja Mangalaon Tua yang pertama, Namora Tolang. Raja Gumanti Porang Debata, anak yang kedua menjadi raja di Pakantan Dolok. Kemudian anak Raja Mangalaon Tua yang ketiga, Raja Sutan Barayun, menjadi raja di Pakantan Lombang.
Beralihnya paham Parbegu* (belum beragama, animisme), menjadi Islam di Pakantan sangat berhubungan dengan peristiwa Perang Padri di Bonjol (1825-1830). Para perwira kerajaan waktu itu banyak masuk ke wilayah Pakantan dan wilayah Mandailing lain untuk menyebarluaskan agama Islam.
Misi Zending Belanda pernah menugaskan Hendrick Dirks untuk berkiprah di Pakantan. Atas persetujuan kepala kuria Pakantan Lombang, Raja Mangatas, ia mendapat pinjaman tanah tahun 1871. Akhirnya Dirks membuat rumah. Kemudian kampung itu dikenal dengan nama Huta Bargot.
Masuknya penyebaran agama Kristen ke Pakantan, jauh lebih dulu dibandingkan masuknya Kristen ke daerah Silindung dan Toba. Ajaran Kristen ke Pakantan Madina dibawa oleh penginjil dari Rusia dan Swiss tahun 1821, sedangkan ajaran Kristen yang dibawa ke Toba dibawa oleh missionaris dari Jerman. Itulah sebabnya gereja tertua di Tapanuli Selatan terletak di Pakantan Huta Bargot.
Pada zaman dahulu wilayah batas Mandailing Godang sampai Sayur Matinggi, Angkola Jae. Ke hilir Mandailing Julu sampai ke Limo Manis, tidak termasuk Muara Sipongi ke hulu (termasuk Pakantan). Karena dahulu Gouverment sudah menetapkan satu kampung tempat Raja Panusunan seperti Mandailing Kecil ada empat, yaitu: Tamiang - Manambin - Singengu dan Tambangan.
Pakantan pun demikian: Pakantan Lombang dan Pakantan Buhit (Pakantan Dolok). Dalam keseharian (tempo dulu) apabila ada masyarakat Pakantan yang akan meninggalkan wilayah Pakantan dan ditanya: mau kemana? maka akan dijawab: "giot tu Mandailing".
Ditemui banyak ciri khas bahasa dan peradatan yang berbeda dengan tempat lain. Seperti misalnya:
1. Di Mandailing dikenal Raja Panusunan sedangkan di Pakantan tidak, namun ada yang disebut dengan "Pamutus Hata"
2. Di Mandailing di kenal Anak Boru/Pisang Raut dan di Pakantan dikenal dengan "Parserean/Parsinggiran"
3. Di Mandailing dikenal dengan Mora sedangkan di Pakantan dikenal dengan "Hula-hula"
4. Di Mandailing alat kesenian Gordang Sambilan digunakan sebagai pelengkap adat, di Pakantan Gordang Sambilan selain pelengkap adat, juga sebagai pemanggil "Baso" atau dikenal dengan sebutan "Manyarama". Tiga irama Gordang Sambilan yang berasal dari Pakantan yaitu Sarama Datu, Sarama Babiat dan Pemulihon.
5. Dan masih banyak lagi ciri khas budaya dan perbedaan dalam bahasa lainnya.
Halak Pakantan sangat kental dengan persaudaraannya tanpa pernah memandang dari kekayaan dan keyakinannya masing-masing. Itu sebabnya kemasyarakatan di Pakantan selalu kompak harmonis dan penuh toleransi. Di Pakantan sendiri, dua agama selalu bisa hidup berdampingan secara harmonis yaitu Islam dan Kristen.
Dalam suatu perkumpulan, yang namanya "halak Pakantan" selalu tampil pada jajaran terdepan, yang memiliki falsafah: "harus menjadi yang terdepan, atau tidak sama sekali". Sifat agresif ini dapat terlihat di rantau baik dalam berbagai bidang, seperti dalam hal kesenian
Di Medan misalnya, Kesenian Gunung Kulabu (kesenian ciri khas Pakantan) dengan Gondang dan Gordang Sambilan-nya paling menonjol daripada wilayah lainnya, sehingga sempat melanglang buana hingga ke "Negara Paman Sam".
Begitu juga di Jakarta, sempat hadir di Istana Bogor saat peresmian pernikahan putri wakil presiden saat itu yaitu Bapak H. Adam Malik. Jadi, dapat disimpulkan bahwa halak Pakantan selalu berusaha menjadi yang terdepan baik secara individu maupun kebersamaan. (Wendy Hutahaean/planet-people.blogspot.com)
Loading...
0 komentar:
Posting Komentar