Suku Batak Toba Pernah Hampir Punah


Bataksiana - Berbicara tentang Suku Batak ibarat menjelajahi sebuah aliran sungai yang tidak berujung. Ada banyak cerita ataupun sejarah yang berhubungan dengan salah satu suku bangsa Indonesia ini terputus bahkan datang tanpa sumber yang jelas. Mulai dari asal-usul, sejarah dan peradabannya hampir tidak satupun bisa dirangkai menjadi sebuah cerita utuh yang dapat dipercaya kebenarannya. Mengapa? Dan salah siapa?
Ilustrasi.
Tentu tidak ada pihak yang dapat disalahkan dengan kenyataan ini. Namun siapa yang harus bertanggungjawab jika ternyata ada sebuah sejarah yang sengaja dikaburkan bahkan ditutupi kebenarannya? Tentu juga tidak ada yang dapat dimintai pertanggungjawaban untuk kasus ini. Yang pasti ini menjadi tugas semua generasi bangsa dari suku manapun. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghormati dan mengenang sejarahnya.

Ada Apa dengan Suku Batak Toba?

Menurut Samuel Hutagalung dalam bukunya berjudul, “Zending, Rasisme dan Kolonialisme”. Orang-orang Batak Toba telah mengalami banyak penindasan dan pergumulan era pra-agama. Bahkan dalam sebuah catatan awal melaporkan adanya migrasi dari selatan Tapanuli ke arah utara. Migrasi ini sebagai akibat serangan mematikan dari pasukan Padri yang dipimpin Imam Bonjol bagi Batak Mandailing yang menolak menerima perintahnya. Besarnya migrasi dari selatan Tapanuli yang sudah dikuasai pasukan Padri memaksa Imam Bonjol melanjutkan serangannya ke arah utara Tapanuli tempat berdomisilinya Batak Toba melalui Sipirok.

Pasukan Paderi yang di Sumatera Barat telah membantai saudara-saudara kandung mereka kaum adat yang tak mau tunduk pada pemaksaan kehendak Tuanku Imam Bonjol masuk menjajah Tanah Batak dan kali ini dibantu oleh Batak Mandailing yang sudah menjadi bagian dari Pasukan Paderi. Raja Sisingamangaraja X dipenggal oleh kaum “Monjo” (Bonjol) ini dan kediamannya di Bakara telah dihancurkan.

Seorang saksi hidup marga Daulae dari Mandailing melaporkan kebiadaban pasukan Paderi, “…tak terhitung lagi banyaknya orang yang tewas disembelih Paderi. Ribuan rumah dibakar Paderi di kampung itu, lebih seribu orang diikat Paderi untuk dijual sebagai budak, ibu-ibu dan anak gadis diperkosa Paderi dan mereka bawa entah kemana, ke tempat yang tidak diketahui di mana adanya, ribuan lagi menyelamatkan nyawa lari ke hutan belantara, diantara mereka ada yang mati kelaparan.”

Seorang wanita yang berhasil lari dari tawanan tentara penjajah Paderi melaporkan bahwa Tuanku Imam Bonjol punya tiga orang isteri dan empat selir. Seorang isteri Imam Bonjol mau melarikan diri tetapi dibunuh oleh anak Iman Bonjol yakni Sutan Sedi. Pada masa itu Pasukan Paderi punya kebiasaan menculik wanita-wanita Batak untuk dijual sebagai budak. Jelaslah kehidupan Bangsa Batak, khususnya Batak Toba bukanlah kehidupan yang aman dan damai di era pra-agama.

Tahun 1816-1833 merupakan masa paling kelam dalam sejarah Batak, khususnya Batak Toba. Pasukan Paderi menjajah dan menghancur leburkan suku Batak Toba, Pasukan Paderi berhasil menang melawan orang Batak Toba, diperkiran sekitar 75% orang Batak Toba terbunuh termasuk anak-anak dan perempuan. Sisanya 25% yang tersisa adalah mereka-mereka yang melarikan diri ke hutan dan kelompok-kelompok yang tunduk pada pasukan Paderi. Kekalahan telak suku Batak Toba ini tidak membuat pasukan Paderi berhenti menghancurkan tanah Batak. Pasukan Paderi bermaksud menjadikan utara Tapanuli sama seperti daerah selatan yang sudah lebih dulu tunduk kepadanya.

Diselamatkan Oleh Yang Mati.

Masih menurut Samuel Hutagalung, walaupun pasukan Paderi berhasil menang melawan orang Batak yang masih hidup namun pasukan Paderi dikalahkan secara telak oleh orang-orang Batak yang sudah mati. Mayat-mayat orang-orang Batak yang ditelantarkan pasukan Paderi tanpa dikubur, karena mereka orang kafir yang tak layak dapat penghormatan akhirnya membusuk dan menyebarkan penyakit yang justru menyerang kaum Paderi. Terpaksa pasukan Paderi mundur hingga ke Mandailing dengan korban jiwa yang cukup besar pada pasukannya.

Kemunduran pasukan Paderi dari tanah Batak Toba meninggalkan banyak kepedihan. Luka dan trauma yang mendalam akibat pembunuhan massal ala Paderi ini mengakibatkan orang-orang Batak Toba menjadi orang-orang yang penuh kecurigaan. Menutup diri pada dunia luar sampai era waktu yang tidak jelas (karena terbukti sekarang orang-orang Batak adalah orang-orang yang sudah terbuka terhadap dunia luar). Dan tentunya kecurigaan ini berakibat pada misionaris Kristen yang datang. Ada banyak yang terbunuh sebagai akibat kecurigaan yang berlebihan ini. Orang-orang Batak Toba yang tersisa berharap mereka tidak ingin menjadi korban pembantaian kedua kalinya.

Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Sejarahnya.

Sebagai generasi muda Indonesia sekaligus generasi muda Batak, tentu sejarah ini sangat menyakitkan sekali. Bisa dibayangkan, sesama suku bangsa saling melakukan pembunuhan yang saya sendiri mengkategorikan ini sebagai “genosida”. Sayangnya kisah ini tidak masuk dalam buku-buku sejarah Indonesia namun pasti tercatat dalam sejarah dunia. Benar-benar sangat disayangkan lagi, ketika Tuanku Imam Bonjol sang penggerak pembunuhan terdaftar dalam salah satu nama list Pahlawan Nasional. Ada sekitar 13-15 juta orang Batak di dunia, dan separuhnya adalah Batak Toba. Berarti jika peristiwa ini tidak terjadi, di negara tercinta ini akan diisi oleh 25 juta orang lebih orang Batak yang tentu diharapkan membawa bangsa ini kearah yang lebih baik.

Catatan ini saya rangkum dari berbagai sumber. Mohon maaf bila terdapat kekeliruan. Besar harapan saya kita semua dan khususnya generasi muda Batak dapat memberikan sumbangsih dalam mencari kebenaran sejarah ini. Dan harapan terbesar saya juga, apabila kebenaran sejarah ini sudah teruji, tentu ini wajib dimasukkan dalam buku sejarah nasional Indonesia dan mendesak pengakuan dan permohonan maaf pihak keluarga Imam Bonjol kepada seluruh bangsa Indonesia khususnya orang Batak Toba. Sebagaimana Belanda pernah melakukan permohonan maaf kepada kita pada peristiwa Rawa Gede. Sekali lagi mohon maaf kepada pihak-pihak yang mungkin tersinggung dengan catatan ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. (sudiarto s/kompasiana.com)

Loading...

SHARE
    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar

close