Ini Eksotisme Mistik Warisan Leluhur Batak Toba


Bataksiana - Berdasarkan kepercayaan, nenek moyang Batak berasal dari seorang raja yang diturunkan di Gunung Pusuk Puhit. Gunung Pusuk Buhit adalah tempat dimana dahulu kala  Raja Batak ada dan berdoa di tempat paling tinggi, diantara gunung yang menggelilingi Pulau  Samosir. Menurut mitos yang sudah turun temurun dipercaya bahwa tempat tertinggi inilah mula suku Batak.  
Batu Hobon.

* Hadatuon

Masyarakat Suku Batak zaman dahulu dikenal menganut kepercayaan animisme dan dinamis, kepercayaan tersebut hingga kini masih tersisa dikenal dengan sebutan agama parmalim, malim, dan mewariskan hadatuon.

Hadatuon merupakan merupakan ilmu supranatural sekaligus natural yang dapat diajarkan dan dipelajari oleh orang-orang tertentu (khususnya yang diberi anugerah istimewa), sahala hadatuon. Proses penyampaian “ilmu”nya selalu bersifat isoteris, artinya dilakukan di luar lingkungan masyarakat serta bersifat tertutup di antara seorang ‘guru’ (datu) dan seorang ‘murid’. Datu hanyalah seorang guru bagi seorang murid, artinya ia tidak memiliki kewajiban untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain.

Datu dalam hal itu tidak berfungsi sebagai guru masyarakat seperti guru-guru lainnya. Sebagaimana diketahui secara umum ada beberapa fungsi datu di tengah-tengah masyarakatnya, seperti pengobatan dan penyembuhan penyakit, sebagai imam dalam ritus keagamaan Batak, sebagai medium dalam memanggil serta berhubungan dengan roh-roh nenek moyang tertentu dan sebagai peramal atau dukun tenung. Dengan demikian “ilmu” yang harus dikuasai oleh seorang datu adalah sangat luas dan keseluruhannya bersifat khusus. Proses penurun-alihan “ilmu” itu sendiri sudah merupakan rangkaian ritus yang unik dan dalam satu proses belajar mengajar hanya ada satu guru dan satu murid.

“Ilmu hadatuon” bersumber pada ‘Pustaha Agong’, sebuah buku laklak (kulit kayu) yang berisikan secara lengkap ilmu hadatuon. Berdasarkan keterangan mitologis, buku tersebut diwariskan oleh si Raja Batak kepada anaknya Guru Tatea Bulan yang menjadi datu, guru pertama, mengajarkan ilmu hadatuon itu kepada anak-anaknya.

Menurut J Winkler, seperti dikutip oleh Aritonang, pada pokoknya ada tiga katagori isi pustaha berdasarkan maksud penggunaannya, pertama satu, ‘ilmu’ untuk memelihara kehidupan (protective magic) yang mencakupi diagnosa, terapi, ramuan obat-obatan yang bersifat magis, ajimat, parmanisan (pekasih) dan sebagainya.

Kedua, ‘ilmu’ untuk membinasakan kehidupan (destructive magic) yang mencakupi seni membuat racun, seni mengendalikan atau memanfaatkan kekuatan roh tertentu memanggil pangulubalang dan seni membuat dorma (guna-guna pemikat cinta).

Ketiga, ‘ilmu’ meramal (divination) yang mencakup orakel (sabda dewata) yang menjelaskan kemauan roh yang dipanggil, perintah para ilah dan leluhur, sistem almanak atau kalender (parhalaan) dan perbintangan (astrologi) untuk menentukan hari baik bulan baik untuk menyelenggarakan suatu hajatan, pekerjaan berat atau perjalanan jauh.

Semua itu dikembangkan sedemikian rupa dalam upacaraupacara magis dalam usaha berkomunikasi dengan kekuatankekuatan supranatural; roh leluhur, roh penghuni-penghuni alam (pangingani) serta roh-roh jahat.

* Pinggan Pasu

Pinggan Pasu adalah sebuah piring besar yang terbuat dari keramik, berasal dari China abad ke 17 Jaman Dinasti Ching. Namun Untuk Sumatra Utara, keramik Cina yang lebih tua ditemukan di kota Cina, Labuhan Deli, Medan. “Diperkirakan dari XI sampai XIII, jaman dinasti Sung dan Yuan. Produksi keramik Cina sempat berhenti di abad XIV. Ketika pembangunan jalan tol Belawan-Tanjung Morawa, ditemukan banyak pecahan keramik Cina di Labuhan Deli yang merupakan kota Cina,”jelas Sri Hartini (Kepala Museum Negeri Sumatra Utara).

Pinggan pasu merupakan sebuah benda pusaka “halak Batak” orang Batak. Benda kuno ini digunakan oleh para raja-raja Batak zaman dahulu untuk melakukan kegiatan atau ritual di tanah Batak. Dan sebahagian masyarakat mempercayai bahwa dalam piring kuno ini memiliki kekuatan magis dan sangat aneh sekali ditemukan dengan piring atau barang pecah belah lainnya. Pinggan pasu ini juga dapat digunakan untuk pengobatan alternatif. Berdasarkan sebuah mitos yang berlaku, pinggan pasu yang asli memiliki tiga keunikan. Bisa menawarkan racun, membuat tawar air asin dan membuat makanan tidak basi.

* Sigale-gale
Sigale-gale merupakan boneka kayu menyerupai figur manusia, baik mulai dari tubuh hingga pakaian yang dikenakan. Boneka ini dimainkan layaknya wayang (kesenian di P.Jawa), memiliki tali dan digerakkan oleh manusia. Ciri khas gerakannya menyerupai tarian khas batak, yakni tari tor-tor. Sigale-gale biasa dimainkan dalam sebuah upacara adat dengan iringan musik gondang sabangunan.

Sigale-gale merupakan salah satu warisan  nenek moyang Suku Batak, jauh sebelum mayoritas masyarakat Suku Batak menganut agama Kristen. Ketika itu masyarakat Suku Batak menganut sebuah keyakinan animisme dan dinamisme, yang mereka sebut dengan Parmalim. Namun bagi masyarakat suku lain di Indonesia  sedikit sekali yang mengetahui kisah yang tragis di balik legenda Sigale-gale.

Dikisahkan ada sebuah keluarga yang salah satu anggota keluarganya menyandang sebagai Raja “Raja Rahat”, dan Raja ini hanya mempunyai satu anak laki-laki. Suatu hari anak laki-laki Raja terkena penyakit aneh dan tidak ada tabib atau pun dukun yang bisa menyembuhkan-nya, lalu akhirnya anak laki-laki Raja ini meninggal dunia.Untuk mengenang anak laki-lakinya, Raja menyuruh para tukang ukir untuk membuatkan sebuah patung yang menyerupai anaknya laki-laki, tukang ukir yang membuat patung anak raja bernama “Rahat Bulu Datu Manggeleng”, dan patung itu dibuat dalam waktu tiga hari saja. Si pengukir kayu ini membuat Sigale-gale pertama dari sebuah pohon besar hutan yang tidak bercabang dan berdaun, lalu sang pengukir ini mengukir kayu pohon ini hingga berbentuk menyerupai manusia, kemudian dipakaikanlah perhiasan-perhiasan.

Rasa sedih sang Raja agak terobati setelah melihat hasil karya si pengukir kayu ini, karena dianggapnya patung itu mirip dengan anaknya yang sudah meninggal dan patung itu diberi nama Sigale-gale. Satu hal yang menarik adalah pemakaian Sigale-gale dengan Kain ulos, sebuah kain yang sering di gunakan oleh masyarakat Batak untuk upacara-upacara adat atau menghadiri pertemuan-pertemuan.

* Pustaka Supranatural

Sebagaimana masyarakat adat lainnya yang pernah menganut animise dan dinamisme, masyarakat Suku Batak pun memiliki warisan supranatural yang eksotis apabila dikaji secara kebudayaan dan reliji, karena tidak mudah bagi manusia untuk menumbuhkan kepercayaan kepada manusia lain dalam sebuah komunitas adat. Berikut warisan supranatural yang melegenda di Tano (tanah) Batak.

- Pangulubalang, yaitu media yang dijadikan hulubalang Sang Datu (Dukun) untuk menghancurkan musuh dan mahluk gaib lainnya. Memiliki kemiripan dengan zombi voodoo yang lazim di benua Afrika, pangulubalang mampu memantrai seorang manusia dan mengendalikannya dari jarak jauh. Berdasarkan kisah legenda seorang anak kecil diculik, lalu diasuh oleh si Datu. Semua kemauan sang anak calon zombi tersebut dituruti selama mau melakukan apa yang diinginkan oleh datu. Hingga pada saat yang ditentukan, anak tersebut akan dikorbankan. Cairan panah timah panas akan dimasukan kedalam tubuhnya melalui mulut, dan ketika sudah dalam keadaan tidak bernyawa, tubuh anak tersebut akan dimasukan ke dalam cairan yang sudah diberi ramuan, kemudian disimpan sebagai proses fermentasi. Air fermentasi yang keluar dari mayat anak tadi disimpan didalam cawan, lalu sisanya dibakar untuk mendapatkan abunya. Untuk memanggil Sianak yang sudah dikorbankan tadi, disiapkanlah patung. Patung inilah yg disebut Pangulubalang. Patung ini berfungsi untuk penolak bala, sedang datu bisa memanfaatkannya untuk disuruh menyerang musuh, berupa santet.

- Tunggal Panaluan, berupa tongkat sakti yang dimiliki datu-datu Batak, diyakini bahwa tongkat ini hidup dan bisa disuruh.
- Pamunu Tanduk, ilmu yang digunakan untuk menetralkan ilmu hitam kiriman lawan. bisa juga digunakan untuk menyerang musuh. Untuk memancarkan ilmu ini dibutuhkan media berupa tanduk.
- Pamodilan, ilmu yg digunakan untuk menembak musuh baik dengan menggunakan senjata (bodil) maupun dengan syarat atau tabas-tabas (mantra) tanpa menggunakan senjata.
- Gadam, ilmu racun sehingga kulit musuh akan seperti penderita kusta.
- Pagar, berdasarkan kepercayaan suku Batak, pagar dibuat dari berbagai bahan dengan waktu dan cara yang khusus dan harus melalui prosesi ritual. Biasanya menggunakan ayam, lalu bahan dibawa ke tempat yang dianggap keramat (sombaon, sinumbah). Dibutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat ramuan Pagar ini. Ramuan ditumbuk halus seperti pasta atau bubuk yg disimpan dalam Naga Morsarang (tanduk kerbau yg berukir).“Pagar hami so hona begu so hona aji ni halak”, ini contoh tabas (mantra) yang digunakan. Penggunaan penolak bala ini, biasanya diberikan pada pasien perorangan ataupun kolektif, seperti; Pagar Panganon (Ilmu tolak bala berupa makanan yang wajib dimakan pasien), Pagar Sihuntion (dijunjung atau digantung oleh perempuan hamil), Pagar ni halang ulu modom ( diletakan didekat tempat tidur orang yang sakit), Pagar Sada bagas (Tolak bala sekeluarga), Pagar Sada huta (Ruwatan Kampung).
- Songon (Pohung, Piluk-piluk), sejenis patung (gana-gana) yang diletakkan di ladang untuk melindungi dari pencuri. “Surung ma ho Batara Pangulubalang ni pohungku, ama ni pungpung jari-jari, ina ni pungpung jari-jari, Batara si pungpung jari. Surung pamungpung ma jari-jari ni sitangko sinuanku onon, surung bunu”, ini adalah mantra (tabas) Pohung agar pencuri menjadi lumpuh jari-jarinya, bahkan mati.

* Batu Hobon

Masyarakat Suku Batak yang terdapat di kawasan Samosir tentu sangat akrab dengan benda sakral, ‘Batu Hobon’. Nama batu tersebut diperoleh dari bentuk dengan rongga yang ada dibawahnya, diyakini batu ini merupakan sebuah lorong.  Karena dianggap keramat sehingga di tempat ini kerap diadakan upacara sakral yang masih berlanjut hingga sekarang. Upacara itu diyakini sebagai penghormatan pada roh leluhur sekaligus menerima pewahyuan dari nenek moyang, dikenal dengan sebutan “Tatea Bulan”. Batu Hobon memiliki kisah mistis yang menarik untuk dicermati dan kepercayaan bahwa siapapun yang mencoba mengangkatnya akan mendapatkan kesialan, musibah bahkan berakhir dengan kematian.

Dikisahkan pada zaman penjajahan Belanda, ada seorang pejabat Pemerintah Belanda dari Pangururan, berusaha untuk membuka batu Hobon, dia berangkat membawa dinamit dan peralatan lain, serta beberapa orang personil. Pada saat mereka mempersiapkan alat-alat untuk meledakkan Batu Hobon itu dengan tiba-tiba datanglah hujan panas yang sangat lebat, disertai angin yang sangat kencang, serta petir dan guntur yang sambung menyambung, dan tiba-tiba mereka melihat ditempat itu ada ular yang sangat besar dan pada saat itu juga ada berkas cahaya (sinar) seperti tembakan sinar laser dari langit tepat keatas Batu Hobon itu, maka orang Belanda itu tiba-tiba pingsan, sehingga dia harus di tandu ke Pangururan, dan setelah sampai Pangururan dia pun meninggal dunia.

Kemudian pada masa pemberotakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), ada seorang tentara yang berusaha untuk membuka batu Hobon ini, menembaki Batu Hobon itu dengan senapan, tetapi sampai habis persediaan pelurunya batu Hobon itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan si tentara itu menjadi gila dan dia menjadi ketakutan dia berjalan sambil berputar-putar, serta menembaki sekelilingnya, walaupun peluru senapannya sudah kosong, dan tidak berapa lama, si Tentara itupun meninggal dunia.

Suatu ketika tutup batu Hobon itu terbuka akibat seseorang yang berusaha mencuri harta karun yang diduga berada di bawahnya. Terbukanya tutup batu Hobon membuat cemas masyarakat Tapanuli Utara yang mengetahuinya. Sehingga datanglah ratusan murid-murid Perguruan HKI dari Tarutung yang dipimpin oleh Bapak Mangantar Lumbantobing, untuk memasang kembali tutup batu Hobon yang sempat terbuka itu. Pada mulanya tutup batu itu tidak dapat diangkat, walaupun telah ratusan orang sekaligus mengangkatnya, tetapi barulah setelah diadakan Upacara memohon restu penghuni alam yang ada di tempat itu yang dipimpin oleh salah seorang pengetua adat dari limbong, maka dengan mudah, tutup batu itu dapat diangkat dan dipasang kembali ketempat semula. (berbagai sumber/int)

Loading...

SHARE
    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar

close